Pengertian Bidah



Secara bahasa: maknanya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya, seperti firman Allah:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الْرُّسُلِ 
“Katakanlah: aku bukanlah bid’ah dari kalangan para rasul” 
Maknanya adalah: aku bukanlah yang pertama diutus, namun telah diutus sebelumku sekian banyak rasul. 

Imam Asy Syathibi rahimahullahu Taala mengatakan: "Bidah adalah suatu metode (tatacara) yang diada-adakan dalam agama, menyerupai syariat yang tujuan mengamalkannya berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla."


Fairuz Abadi dalam "Bashair Dzawit Tamyiiz" menyebutkan:"Bidah itu adalah segala sesuatu yang baru dalam agama sesudah penyempurnaan."

Ada pula yang mengatakan:"Segala sesuatu yang diada-adakan sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam, baik ucapan maupun perbuatan."

Dikatakan pula:"Bidah adalah mengeluarkan pendapat atau perbuatan, di mana pelaku atau yang mengatakannya tidak mengambil tuntunan atau contoh dengan pembuat syariat, atau hal-hal yang pernah ada sebelumnya yang serupa dengan pebuatan atau pendapat itu serta tidak bersandar kepada ushul yang kokoh. (Lihat pula pembahasan yang terperinci tentang makna bid’ah secara istilah dalam kitab Mauqif Ahlus Sunnah: 1/90-92)

Pembagian Bidah menjadi Bidah Haqiqah dan Idlafiyah
1. Bidah Haqiqiyah
Adalah bidah yang tidak ada dalil dari syariat yang mendasarinya, baik dari Al Quran, As Sunnah, Ijma atau kias dan pendalilan yang mutabar (diakui) di kalangan ahli ilmu, secara keseluruhan atau terperinci.

2. Bidah Idlafiyah
Adapun bidah idlafiyah adalah bidah yang mempunyai dua sisi terkait:
a. Di mana pada satu sisi, dia mempunyai dalil yang berkaitan dengan bidah itu, sehingga dari arah ini tidak dikatakan bidah
b. Tidak berkaitan dengan satu dalilpun, seperti halnya bidah haqiqiyah
Yakni, dari sisi adanya dalil sebagai dasar, dia adalah sunnah. Sementara dari sisi lain, merupakan bidah karena bersandar kepada syubhat (kerancuan), bukan kepada dalil atau sama sekali tidak bersandar kepada apapun. (Itisham 1/367-368).


Tidak semua yang asalnya disyariatkan, berlaku pula dalam segala hal

Dari keterangan tentang pembagian bidah tadi, jelaslah bagi kita bahwa tidak semua yang pada asalnya disyariatkan maka dia masyru dari segala sisi, sama saja apakah berkaitan dengan waktu, tempat atau yang lain, seperti yang dijelaskan oleh Imam As Suyuthi rahimahullahu Taala dalam Al Amru bil Ittiba ketika menyebutkan sebagian bidah yang disangka sebagian besar kaum muslimin adalah ibadah, amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, ketaatan atau sunnah. 

Selanjutnya beliau berkata:"Adapun yang kedua dari hal-hal yang dianggap manusia sebagai ketaatan, dan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sesungguhnya adalah kebalikannya. Atau yang meninggalkannya justeru lebih baik daripada mengerjakannya, adalah suatu perkara yang diperintahkan oleh syariat dalam salah satu bentuk amalan, pada waktu atau tempat tertentu. Misalnya puasa (hanya) siang hari, thawaf (hanya) di Kabah. Atau hanya berlaku untuk satu orang seperti yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam dalam perkara mubah atau keringanan-keringanan. Kemudian datang si jahil mengkiaskan dirinya dengan keadaan itu dan melaksanakannya, padahal pekara itu terlarang baginya untuk mengerjakannya. Atau misalnya dia mengkiaskan bentuk-bentuk atau cara-cara pelaksanaan amalan tersebut satu dengan yang lainnya tanpa menghiraukan perbedaan waktu dan tempatnya."

Syaikh Amru bin Abdul Munim ketika menerangkan tentang kaidah bagaimana mengenal suatu bidah, mengatakan:"Semua bidah yang disebutkan secara mutlak oleh syariat dan dibatasi oleh sebagian manusia menurut tempat, waktu, bentuknya ataupun jumlahnya, maka hal itu adalah bidah."
"Bisa jadi, suatu ibadah bersambung dengan ibadah lain yang disyariatkan, hanya saja hubungan tersebut secara bersamaan termasuk bidah." 

Beliau mengatakan pula:"Ibadah adalah amalan tauqifiyah (dikerjakan berdasarkan adanya perintah atau contoh–ed), bukan hanya dalam bentuk dan tata caranya tetapi juga waktu pelaksanaannya, juga tempatnya sehubungan dengan ibadah lainnya dan keberadaannya bersama kebiasaan yang lain. Maka dari sini, tidak boleh menyambung ibadah dengan ibadah lain kecuali apabila ada dalil syariat yang membolehkannya. Kalau tidak ada dalil yang mendasarinya maka perbuatan itu adalah bidah."

Dan inilah, sekarang saya hadirkan ke hadapan sidang pembaca –semoga Allah merahmati anda- sekelumit contoh dalam permasalahan ini agar kaidah ini mudah dipahami.
1. Membaca Al Quran. Ini jelas ibadah. Keutamaannya banyak diungkapkan dalam Al Quran dan As Sunnah, dan di sini kami hanya cantumkan sebagiannya karena khawatir terlalu panjang. 
Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Umamah Shudai bin Ajlan Al Bahili radliyallahu anhu, katanya:"Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda:
اقرؤوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه
"Bacalah Al Quran, karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat."
Meskipun adanya keutamaan sebesar ini, Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam telah melarang kita membacanya pada waktu sujud, ruku di dalam shalat sebagaimana juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, katanya:"Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda:
ألا إني نهيت أن أقرأ القرآن راكعا أو ساجدا فأما الركوع فعظموا فيه الرب وأما السجود فاجتهدوا في الدعاء فقمن أن يستجاب لكم
"Ketahuilah, sesungguhnya saya dilarang membaca Al Quran dalam keadaan sedang ruku atau sujud. Maka agungkanlah Allah ketika ruku. Adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah berdoa, maka pantaslah untuk dikabulkan doa kalian."
2. Demikian pula shalat. Di mana shalat adalah kebaikan yang telah ditetapkan. Seperti diriwayatkan oleh Ath Thabrani (Mujamus Shaghir) dengan sanad hasan dari beberapa jalannya dari hadits Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda:
الصلاة خير موضوع
"Shalat itu adalah kebaikan yang ditetapkan."
Namun demikian, kalau seseorang shalat sesudah ashar atau sesudah fajar (shubuh) atau ketika matahari tepat di atas (belum bergeser) tanpa alasan, maka shalat itu terlarang sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, katanya: 
شهد عندي رجال مرضيون و أرضاهم عندي عمر أن رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم نهى عن الصلاة بعد الفجر حتى تطلع الشمش وبعد العصر حتى تغيب الشمش 
"Salah seorang laki-laki yang diridlai dan yang paling mulianya adalah Umar, dia bersaksi bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam melarang shalat sesudah fajar (Shubuh) sampai terbitnya matahari dan sesudah ashar sampai terbenamnya matahari."
Dan Imam Muslim meriwayatkan dalam sahihnya dari hadits Uqbah bin Amir, ia berkata:
ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهانا أن نصلي فيهن وأن نقبر فيهن موتانا : حين تطلع الشمش بازغة حتى ترتفع وحين يقوم قائم الظهيرة حتى تزول الشمش وحين تتضيف الشمش للغروب
"Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam melarang kami shalat padanya, dan melarang menguburkan jenazah pada waktu itu, yaitu ketika matahari terbit sampai dia naik, dan ketika tepat berada di atas sampai dia bergeser dan pada saat dia akan tenggelam."
Begitupula kalau dikhususkan shalat pada waktu yang ditentukan disertai keyakinan adanya keutamaan apabila dikerjakan pada saat itu. Sebagaimana keyakinan sebagian orang adanya keutamaan memperbanyak shalat pada bulan Rajab atau Syaban. Oleh karena itu pula Imam An Nawawi rahimahullahu Taala menyatakan dalam fatwanya bahwa Shalat Rajab dan Syaban adalah dua bidah yang tercela."
3. Demikian pula ucapan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam. Maka sesungguhnya keduanya adalah ibadah yang disyariatkan. Bahkan Allah Taala memerintahkannya, sebagaimana dalam firman-Nya:
إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما
"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang beriman, bershalawatlah kamu untuknya dan ucapkanlah salam dengan sebenar-benarnya.”(Al Ahzab 56).
Dengan perintah Allah ini, maka mengkhususkannya (dikerjakan) pada satu waktu atau tempat tertentu, merupakan perbuatan bidah yang munkar. Sebagaimana halnya bila seseorang menyambung ucapan shalawat ini setelah dia bersin dan membaca Alhamdulillah. 
Imam At Tirmidzi, Al Hakim dan yang lain meriwayatkan adari Nafi, bahwa ada seorang laki-laki bersin di sebelah Ibnu Umar radliyallahu anhuma, kemudian dia berkata:" الحمد لله والصلاة والسلام على رسوله " (Segala puji hanya bagi Allah, dan shalawat serta salam untuk Nabi-Nya). Ibnu Umar berkata:"Dan saya mengatakan:" الحمد لله والسلام على رسول الله " (Segala puji hanya bagi Allah, dan salam sejahtera bagi Rasulullah), bukan begini Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam mengajari kami. Beliau ajarkan kami untuk mengucapkan:" الحمد لله " dalam setiap keadaan." 


Dari sini nampaklah bagi kita perbedaan antara bid’ah secara lughawi dan bid’ah secara istilahi, di mana pengertian bid’ah secara lughawi lebih umum, sebab secara istilahi dikhususkan dengan apa yang baru di dalam agama yang tidak ada penunjukannya dalam nash-nash dan kaidah syariah. 

Maka terkadang suatu perbuatan tersebut termasuk bid’ah dalam bahasa namun tidak termasuk bid’ah dalam syari’at. Seperti apabila ada nash yang menganjurkan suatu amalan namun belum sempat diamalkan melainkan setelah terputusnya syari’at, dan meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Apakah karena belum diberikan kemudahan untuk mengumpul-kannya atau karena adanya penghalang yang mencegah untuk melakukannya di zaman turunnya syari’at. 

Maka bagi orang yang pertama melakukannya dikatakan bid’ah secara bahasa sebab merupakan perbuatan yang tidak ada contohnya terdahulu, namun bukan bid’ah dalam syari’at karena adanya dalil yang menunjukkan disyari’atkannya. 

Diantara contoh hal ini banyak dari perbuatan para Shahabat, seperti pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, shalat Tarawih di zaman ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dan yang lainnya.( Mauqif Ahlus Sunnah: 1/ 93) 

(Disalin dari "Bidah Amaliyah Dzikir Taubat, Bantahan terhadap Arifin Ilham Al Banjari", Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al Bugisi, Murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadii, Yaman. Dterbitkan dalam buku berjudul "Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah Bantahan Ilmiah Terhadap M. Arifin Ilham Dan Para Pendukungnya" oleh penerbit Darus Salaf Darus Salaf Press, Wisma Harapan Blok A5 No. 5 Gembor, Kodya Tangerang HP. 081316093831 Email: darussalafpress@plasa.com )

Leave a Reply

Terima Kasih Telah Berkomentar :)